TheIndonesiaTimes – Keputusan DPR RI untuk memilih lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari kalangan kepolisian, kejaksaan, hakim, dan mantan anggota BPK telah menuai kritik, terutama terkait dengan independensi KPK sebagai lembaga negara. Pemilihan ini dianggap mengikis prinsip dasar KPK yang seharusnya menjadi lembaga independen dalam pemberantasan korupsi. Pemilihan pimpinan yang memiliki afiliasi kuat dengan berbagai lembaga negara justru menimbulkan kekhawatiran bahwa KPK akan kehilangan daya kontrol terhadap kekuasaan yang lebih besar, sehingga korupsi sulit diberantas secara efektif.
Secara normatif, memang benar bahwa calon-calon yang dipilih oleh DPR memiliki hak yang sama untuk menduduki jabatan di KPK, dan DPR juga berwenang menentukan pilihannya. Namun, dalam konteks keberadaan KPK sebagai constitutional important body, yang seharusnya menjadi lembaga independen yang memerangi korupsi tanpa tekanan eksternal, pemilihan pimpinan dari lembaga negara yang memiliki afiliasi organisasi kuat seperti kepolisian, kejaksaan, dan BPK, justru menurunkan kredibilitas dan daya tahan KPK sebagai lembaga antikorupsi yang bebas dari intervensi.
KPK, sebagai auxiliary state institution, diciptakan untuk menjadi antitesis dari lembaga-lembaga negara yang dianggap tidak cukup akuntabel dalam memberantas korupsi, seperti kepolisian dan kejaksaan. Namun, dengan memilih pimpinan yang memiliki kedekatan organisasi dan patronase politik yang kuat dengan lembaga-lembaga tersebut, DPR seolah ingin mengembalikan KPK ke dalam lingkup pengaruh kekuasaan yang lebih besar. Ini terlihat seperti skenario yang sengaja dibentuk oleh mantan Presiden Jokowi, melalui Panitia Seleksi yang memilih sepuluh calon untuk kemudian diserahkan ke DPR. Keputusan ini bisa dipandang sebagai upaya untuk lebih mengendalikan KPK, terutama setelah adanya revisi UU KPK pada tahun 2019 yang telah melemahkan beberapa fungsi penting KPK.
Salah satu kritik utama terhadap pemilihan pimpinan KPK ini adalah absen-nya representasi dari masyarakat sipil, yang selama ini menjadi penjaga independensi KPK. Dalam konteks ini, masyarakat berharap ada representasi yang kuat dari luar institusi pemerintah untuk memastikan bahwa KPK tetap bekerja sesuai dengan mandatnya, tanpa terpengaruh oleh kepentingan politik atau organisasi tertentu. Sayangnya, keputusan DPR justru lebih menekankan pada pemilihan orang-orang yang memiliki latar belakang dan afiliasi politik yang jelas, yang memungkinkan adanya pengaruh dalam keputusan-keputusan yang akan diambil oleh KPK.
Dalam narasi yang berkembang, kinerja Kejaksaan Agung dan Polri yang dianggap “moncer” dalam pemberantasan korupsi menjadi alat untuk melegitimasi pemilihan pimpinan KPK yang berasal dari organ negara tersebut. Hal ini semakin mempertegas agenda setting yang ada, yakni pelemahan KPK melalui pemilihan pimpinan yang lebih terikat dengan lembaga negara, alih-alih dengan elemen masyarakat sipil atau profesional independen yang diharapkan dapat menjaga integritas KPK.
Formula kepemimpinan seperti ini tentu akan menghadapi tantangan besar dalam memperoleh kepercayaan publik. Tanpa adanya jaminan bahwa KPK akan tetap bekerja dengan independensi yang tinggi, publik kemungkinan besar akan melihat proses pemberantasan korupsi sebagai sekadar peragaan yang tidak menyentuh akar masalah. Jika KPK kembali menjadi instrumen politik, maka upaya pemberantasan korupsi hanya akan menjadi basa-basi semata untuk mempertahankan citra pemerintah dan menjaga kepatuhan masyarakat untuk membayar pajak. Dalam kondisi ini, munculnya mosi tidak percaya dari publik terhadap KPK 2024-2029 dan DPR RI, khususnya Komisi III DPR, adalah hal yang sangat mungkin terjadi.