TheIndonesiaTimes – Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Prof. Henry Indraguna, menyoroti urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurut Henry, pengesahan RUU ini sangat penting sebagai langkah maksimal untuk menjerat para pelaku korupsi serta mengamankan aset-aset yang diperoleh secara ilegal. Ia menekankan bahwa prinsip ultimatum remedium yang diusung oleh RUU ini bertujuan memberikan efek jera sekaligus memulihkan kerugian negara.
Sayangnya, hingga akhir masa jabatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024, RUU tersebut belum disahkan meskipun sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Henry menyayangkan lambatnya proses ini dan berharap DPR periode 2024-2029 segera membahas dan mengesahkannya.
“Jika kita serius dalam memberantas korupsi, tidak ada alasan untuk menunda pengesahan RUU ini. DPR harus membuktikan keseriusannya. Kalau bersih, kenapa harus takut?,” tegas Prof Henry dalam keterangannya, Selasa (1/10/2024).
Korupsi, lanjut Henry, adalah kejahatan luar biasa yang merusak seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dampaknya tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga menghambat pembangunan serta menyengsarakan rakyat. Oleh karena itu, menurutnya, regulasi yang kuat seperti RUU Perampasan Aset ini diperlukan untuk menciptakan efek jera bagi para koruptor. Tanpa regulasi yang memadai, upaya pemberantasan korupsi akan terus terhambat.
Prof. Henry juga mengingatkan bahwa RUU ini memiliki kelebihan signifikan, yakni memungkinkan perampasan aset tanpa harus menunggu putusan pengadilan. Artinya, aset yang diduga diperoleh melalui tindak pidana korupsi dapat segera disita, sehingga meminimalisir potensi pelarian aset. Dengan demikian, kerugian negara bisa lebih cepat dipulihkan. “Jangan sampai koruptor masih menikmati hasil kejahatannya sementara proses hukumnya berlangsung lama,” tambah Henry.
Selain itu, Henry mengamini laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menunjukkan tren peningkatan kasus korupsi dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data ICW, pada tahun 2023 saja tercatat ada 791 kasus korupsi dengan 1.695 tersangka, meningkat tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Fakta ini, menurut Henry, menjadi alarm bagi pemerintah dan DPR untuk segera mengambil langkah konkret melalui pengesahan RUU Perampasan Aset.
Henry juga mengkritik retorika yang sering digunakan oleh para pejabat dalam kampanye anti-korupsi. Ia menilai slogan seperti “Kalau Bersih, Kenapa Harus Takut” sering kali hanya menjadi ajang pencitraan tanpa langkah nyata di lapangan. “Jangan hanya bicara, tapi lakukan tindakan yang nyata. Pengesahan RUU ini adalah salah satu bentuk nyata komitmen anti-korupsi,” ujarnya. Sebagai politisi Golkar, Henry merasa bertanggung jawab untuk mendorong upaya serius dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Di sisi lain, DPR periode 2019-2024 menyatakan bahwa RUU Perampasan Aset akan menjadi prioritas di periode legislatif berikutnya. Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyebutkan bahwa waktu yang tersisa dalam masa jabatan mereka sangat terbatas, sehingga pembahasan RUU ini tidak dapat diselesaikan dalam waktu dekat. Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, menambahkan bahwa proses pembahasan masih memerlukan waktu lebih untuk mendalami berbagai aspek terkait RUU tersebut.
Presiden Joko Widodo juga mendukung percepatan pengesahan RUU ini. Namun, karena keterbatasan waktu, diharapkan DPR periode 2024-2029 akan melanjutkan pembahasan dan segera menyelesaikan proses legislasi. Prof. Henry menutup dengan harapan agar anggota DPR yang baru dilantik dapat menunjukkan komitmen mereka dalam memberantas korupsi dengan segera mengesahkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.