
Tampak pembicara (dari kiri ke kanan) Direktur Riset Setara Institute Ismail Hsani (moderator), Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi PDI-P Tubagus Hasanuddin, Connie Rahakundini Bakrie, Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi, dan Direktur Imparsial Al Araf, saat acara diskusi publik beberapa waktu lalu. (Ist)
JAKARTA, TheIndonesiaTimes — SETARA Institute menilai bahwa pembahasan rencana penambahan Komando Daerah Militer (Kodam) di 38 Provinsi di Indonesial oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertahanan dan TNI AD, yang terus berlanjut menambah pelik persoalan agenda reformasi militer.
Sebab, agenda reformasi militer baru-baru ini juga memiliki gangguan serius melalui materi usulan perubahan dalam revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
“Substansi yang diajukan maupun dampak yang dihasilkan dari kedua wacana ini kontradiktif dengan upaya penguatan pertahanan menghadapi kompleksitas ancaman dan peningkatan profesionalitas militer,” kata Peneliti Hak Asasi Manusia dan Sektor Keamanan SETARA Institute Ikhsan Yosari, melalui siaran pers yang diterima redaksi TheIndonesiaTimes, Rabu, (24/5/2023).
Menurut Ikhsan, wacana penambahan Kodam maupun revisi UU TNI memiliki aroma perluasan peran militer di ranah sipil begitu kental.
Dalam konteks revisi UU TNI, menurut Ikhsan, hal tersebut terlihat dalam perluasan cakupan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) pada Pasal 7 ayat (2) dan jabatan sipil bagi prajurit aktif pada Pasal 47 ayat (2).
Sementara dalam hal penambahan Kodam, tambah Ikhsan, terlihat melalui pembentukan struktur TNI yang mengikuti struktur administrasi pemerintahan hingga ke daerah, sehingga TNI semakin dekat dengan peran-peran sipil di daerah.
“Penggelaran struktur TNI mengikuti struktur administrasi pemerintah tersebut juga bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UU TNI, sebagaimana dijelaskan pada bagian penjelasannya,” ujar Ikhsan menambahkan.
Dengan kondisi demikian, menurut Ikhsan, kedua wacana ini secara nyata memiliki dampak legitimasi perluasan peran militer di ranah sipil dari tingkat pusat (melalui revisi UU TNI) hingga ke tingkat daerah (melalui penambahan Kodam).
“25 tahun reformasi, yang mana salah satunya mengenai reformasi militer, nyatanya belum cukup membawa konsistensi perubahan dalam agenda reformasi militer,” ujarnya.
Berikut ini sejumlah catatan SETARA Institute terkait dengan rencana penambahan Kodam dan revisi UU TNI, yakni:
- Agenda reformasi TNI seharusnya semakin mendorong TNI untuk benar-benar konsisten dan memfokuskan diri untuk penguatan bidang pertahanan negara, terutama dalam menghadapi ancaman dari luar. Terlebih dengan kondisi global yang berada di era VUCA atau Volatility (volatilitas), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (kompleksitas), Ambiguity (ambiguitas), di mana ketidakpastian ancaman ke depannya dapat terjadi, sebagimana dunia dikejutkan dengan wabah Pandemi dan konflik Rusia-Ukraina. Dengan kondisi demikian, seharusnya membuat TNI mengutamakan orientasi ke luar (outward looking) dalam paradigma pertahanan negara.
- Wacana revisi UU TNI dan penambahan Kodam bukan hanya belum memperlihatkan urgensi pelaksanaannya, tetapi juga seakan memperlihatkan minimnya visi dan desain modernisasi pertahanan dalam menjawab tantangan kondisi global. Basis argumen yang disampaikan ke publik pun tidak relevan antara tujuan dan implementasi, yakni penguatan pertahanan menghadapi ancaman, tetapi dengan cara perluasan peran militer di ranah sipil.
- Dalam situasi damai, meskipun dinamika ancaman semakin berkembang, seharusnya penguatan pertahanan dilakukan dengan cara-cara yang modern, diantaranya pemanfaatan teknologi pertahanan, bukan dengan pengulangan cara-cara konvensional. Selain itu, akan lebih efektif juga jika penempatan Kodam difokuskan di daerah perbatasan maupun terluar guna memastikan pertahanan dan kedaulatan negara.
- Mengingat dinamika global dan ancaman pertahanan dari luar yang semakin berkembang, Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI AD, TNI AL, dan TNI AU, sebagaimana amanat Konstitusi semestinya mendorong agar TNI memperkuat kapasitas prajurit maupun kelembagaan, baik dengan penguatan alat utama sistem persenjataan (alutsista), penguatan skill tempur prajurit, latihan militer gabungan, update teknologi untuk penguatan pertahanan, hingga peningkatan kesejahteraan prajurit.
Sebelumnya, sebagaimana tertuang dalam draf revisi UU TNI yang tengah disiapkan oleh Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI dan akan disampaikan ke Panglima TNI, terkait posisi, TNI tak ingin lagi ada di bawah Kemenhan seperti diatur dalam UU No 34/2004, tetapi cukup berkoordinasi dengan Kemenhan. Sementara sesuai revisi Pasal 66, 67, dan 68 UU TNI, TNI juga tak ingin pengajuan anggarannya ke Kemenkeu melalui Kemenhan, melainkan langsung ke Kemenkeu. (EDO)