Tanah untuk Fasilitas Umum Dijual GKJ

Theindonesiatimes.com – Tanah seluas 2000 meter persegi, di kawasan Jelambar Jakarta Barat, yang dihibahkan yayasan Trikora kepada Gereja Kristen Jakarta(GKJ) untuk fasilitas umum (Fasum) dan fasiltas sosial (Fasos) ternyata tanpa sepengetahuan warga Jelambar yang tergabung dalam enam (6) RT dan satu (1) RW, disalahgunakan peruntukannya, yaitu buat rumah tinggal dengan cara  dijual oleh pihak  GKJ (seluas 300 meter persegi) kepada seorang jemaat GKJ bernama Timotius Wong. Oleh karenanya Para Ketua, RT dan RW mewakili warga dan tokoh masyarakat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri  Jakarta Barat, yang diwakili oleh kuasa hukum Para Penggugat yakni dari Kantor Hukum Ferry Ericson & Partners (“FEP”).

Pengacara Warga, Ferry Ericson

Karena merasa membeli dari GKJ, oleh Wong meminta rekomandasi dari RT dan RW untuk mendapatkan IMB, tapi pihak RT dan RW menolak peruntukannya buat rumah tinggal, karena warga tahunya tanah itu untuk fasum dan fasos, termasuk untuk membangun sekolah dan gereja. Sebelumnya RT RW pernah membantu untuk melakukan perpanjangan HGB sesuai peruntukkan awalnya yaitu untuk fasum dan fasos.

Karena ditolak warga, Wong mengadu dan melapor ke Camat, hasinya mengalami jalan buntu, kata Ferry Ericson sebagai kuasa hukum warga. Warga meminta kepada Wong disaksikan Camat untuk menunjukan tanah itu bahwa peruntukannya buat rumah tinggal, namun Wong tidak dapat memperlihatkannya, akhirnya warga menggugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar) dengan perkara 913/Pdt.G/2023/PN/JKT/BRT.  Kini status tanah itu Status Quo. Artinya tidak bisa diapa-apakan, sampai ada Keputusan Pengadilan, ujar Ferry Ericson biasa disapa Ferry & Partners yang diminta warga Jelambar untuk menjadi pengacaranya, ketika ditemuai 4 media di kantornya kawasan Benhil, Jakarta Pusat, belum lama berselang.

Bahwa selain menggugat, warga melalui kuasa hukumnya juga telah  melayangkan surat  ke Wali Kota Jakarta Barat dengan Nomor Surat :  036/FEP-SK/SK/V/2024, tertanggal 20 Mei 2024  yang isi suratnya mengenai keberatan dan penolakan terhadap pemberian izin persetujuan pembangunan gedung Nomor SK-PBG-317302-26022024-001, atas nama pemilik tanah Timotius Wong tertanggal 26 Februari 2024.

“Masih kata Ferry,ini kan  lagi proses di pengadilan, kan gitu, tiba-tiba mereka masuk untuk melakukan peletakan batu pertama untuk rumah tinggal, namun ketua RW tidak memperbolehkan adanya kegiatan apapun maupun berubah bentuk terhadap lahan itu. Karena sedang ada sengketa di pengadilan, maka proses persidangan harus hormati. Mereka jalani, apa jadinya, mereka sudah sewa alat itu,  akhirnya apa? Mereka pulangin lagi. Dan, kami sudah surati ke Sudin,  kalian beri izin ini, sementara kita ada proses dipengadilan  tangguhkan,” tegasnya.

Kembai ke tanah untuk Fasum dan Fasos, warga sudah gotong royong untuk membersihkan lahan tersebut karena Tanah itu terlantar, sehingga tumbuh semak belukar.  Nah, oleh warga disitu dirawat, dibersihkan dengan memberi upah dengan cara iuran, tetapi  faktanya bukan untuk kegiatan Fasum dan Fasos, malah gereja menjualnya ke pribadi. Siapa itu pribadi, itu jemaatnya Gereja itu juga (Wong).

Menurut Ferry, terlepas dari keputusan pengadilan nanti, warga tetap meminta ganti rugi dengan nilai 666.000.000 (Enam Ratus Enampuluh enam Juta Rupiah) yang selama ini telah dikeluarkan. Artinya keputusan apapun yang dihasikan di pengadilan, gereja harus  tetap membayarnya kepada warga.

Soal tanah fasum dan fasos sebagian beralih untuk rumah tinggal, mengutip media Victoriusnews, pihak GKJ melalui ketua Sinodenya, Djana Yusuf,  bahwa  tahun 2021 di era Gubernur  DKI Jakarta Anies Baswedan, telah banyak perubahan status untuk tanah, termasuk tanah milik GKJ.

Setelah membeli tanah tersebut, GKJ mengalami pergumulan soal pendanaan membangun gedung baru. Setelah mempertimbangkan berbagai aspek, akhirnya pihak GKJ memutuskan menunda pembangunan gedung di lahan tersebut hingga sekarang.

Djana menegaskan, mengklaim proses jual beli tanah/asset sudah sesuai dengan AD/ART, yang memberikan wewenang kepada Majelis Sinode untuk menjual. Setiap 300 jemaat diwakili oleh satu anggota dalam sidang untuk memutuskan penjualan tersebut. Keputusan bulat dari Majelis Sinode GKJ, dana hasil penjuaan dgunakan untuk pengembangan pelayanan gereja.

Hingga saat ini sidang pemanggilan saksi sudah dimulai. Namun, pihak penggugat tidak menghadirkan saksi. Sementara kami (pihak gereja) sudah menghadirkan saksi termasuk daru Pemda yang memgeluarkan izin. Mungkin karena tanah ini milik gereja dengan plang GKJ, sertifikat dan IMB. Artinya , tanah tersebut resmi dan sudah berizin, bebernya.

Seharusnya pribadi jemaat itu untuk membangun sesuatu, izin dulu, supaya kalau ada gangguan apa-apa, akhirnya apa yang terjadi, pribadi jemaat itu tak bisa memasukan alat dan barang, tapi alat dan barang yang sudah ada di situ, ditarik lagi oleh pribadi jemaat tersebut. 

Menyambung terkait, kabar terkini, Wong melalui pengacaranya mengadu untuk melapor  ke Polres Jakarta Barat, untuk meminta perlindungan hukum. Saksi-saksi terlapor dipanggilin, termasuk ketua RW, namun kan kita bilang ini kan masalah perdata,  ngapain melapor-melapor, meminta perlindungan hukum, mereka melapor ke Polres Jakbar, karena merasa bahan-bahan material untuk masuk ke tanah itu dihalang-halangi, pungkas  Ferry yang pernah menangani perkara  gereja di Sentul, Gereja di Lampung dan Palembang Bogor, Artis Adjinotonegoro dan artis-artis lainnya.