TheIndonesiaTimes - Di tengah derasnya arus reformasi penegakan hukum, praktik tambang ilegal di Kalimantan Timur justru tampak semakin tak terkendali. Dugaan nama Sugianto alias Asun mencuat sebagai tokoh sentral dalam pusaran bisnis batubara ilegal bernilai triliunan rupiah yang kini menjadi sorotan publik.
Yang mengundang tanda tanya, meski penyidikan tengah berjalan di Kejaksaan Agung, aktivitas jaringan Asun justru kian terbuka. Sejumlah sumber bahkan menyebut, ia mendapat perlindungan dari oknum institusi intelijen di daerah. Dugaan ini menambah tebal kabut hitam di balik industri tambang yang seharusnya diawasi ketat oleh negara.
“Presiden Prabowo Subianto harus turun tangan. Kasus ini bukan hanya soal tambang ilegal, tapi menyangkut wibawa hukum negara,” ujar Ronald Loblobly, Koordinator Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi (KOSMAK), saat ditemui di Jakarta, Kamis (23/10/2025).
Perdagangan Gelap di Laut Terbuka
Laporan KOSMAK menyebut, antara Maret hingga September 2025, Asun bersama rekannya Sanjai Gattani, warga negara India, diduga menjual 750 ribu ton batubara ilegal melalui 11 kapal besar (Mother Vessel).
Untuk memuluskan ekspor, jaringan ini menggunakan dokumen perusahaan tambang yang sudah tidak aktif atau berstatus mine out. Dokumen tersebut dijadikan “surat terbang” agar pengiriman terlihat sah secara administratif. Dalam satu periode, biaya koordinasi disebut mencapai puluhan miliar rupiah.
Yang lebih mencengangkan, perusahaan-perusahaan itu diduga masih menerima Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari Ditjen Minerba. Salah satunya PT Jhoswa Mahakam Mineral (JMM), yang diketahui menjual dokumen RKAB ke PT Andalan Berkah Bersama, perusahaan yang dikendalikan langsung oleh Asun.
Dari hasil penelusuran KOSMAK, skema serupa juga dilakukan oleh PT Energy Cahaya Industritama (ECI), PT Bumi Muller Kalteng, dan beberapa perusahaan lainnya.
Dari RKAB ke Jetty: Skema Terpadu Mafia Tambang
Modus yang digunakan sederhana tapi sistematis. Dokumen RKAB dijual kepada perusahaan pelayaran untuk mengesahkan batubara yang sesungguhnya berasal dari tambang ilegal. Batubara itu kemudian dikirim lewat Jetty Andalan Berkah Bersama, Jetty Rinjani, Jetty Nirmala, hingga Jetty Lapak Lembur — yang sebagian dikendalikan oleh jaringan Asun sendiri.
Menurut KOSMAK, sejak 2023 hingga pertengahan 2025, total 6,3 juta ton batubara ilegal telah diperdagangkan melalui jalur tersebut. Nilainya ditaksir mencapai Rp5 triliun, sebuah angka yang cukup besar untuk membiayai proyek nasional.
Diamnya Aparat dan Dugaan Kolusi
Meski berbagai data telah dipublikasikan, belum ada langkah konkret dari aparat penegak hukum untuk menahan Asun atau pejabat yang disebut terlibat.
Ronald menduga ada jaringan perlindungan kuat di balik bisnis gelap ini.
“Kalau ada aparat yang melindungi mafia tambang, berarti kita sedang berhadapan dengan kekuatan yang lebih besar dari hukum itu sendiri,” katanya.
Ia juga mendesak Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk mengevaluasi Jampidsus Febrie Adriansyah, yang dinilai lamban menindaklanjuti penyidikan kasus tersebut.
Ujian untuk Pemerintah Baru
Kasus tambang ilegal Kalimantan Timur kini menjadi ujian serius bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Di tengah semangat reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi, publik menunggu langkah nyata pemerintah dalam membongkar praktik mafia tambang yang disebut “menantang negara secara terbuka.”
“Jika hukum bisa dibeli, maka negara akan kalah oleh mereka yang punya akses dan uang,” kata Ronald menutup pernyataannya.
Sementara itu, aktivitas pengiriman batubara terus berlangsung di malam hari. Truk-truk besar melintas tanpa tanda perusahaan resmi. Di balik gelapnya jalan hauling di Muara Badak, nama Asun masih disebut — bukan sebagai legenda, tapi sebagai simbol bahwa mafia tambang belum sepenuhnya bisa dijinakkan oleh hukum.